NIETZSCHE JUGA BERBICARA TENTANG CINTA
Pdt.
Saut Silitonga Mphill
Melayani di HKBP
Banuahulu Distrik XVI Humbang Habinsaran
Benarkah? Mungkin inilah pertanyaan awal yang
timbul dalam benak kita ketika saya membuat judul ini. Bukankah Nietzsche
adalah seorang filsuf yang dianggap nyeleneh tanda kutip; seorang pemikir yang
dianggap orang kontradiktif ? Lalu, dengan ke-kontradiksi-an pemikirannya dalam
berfilsafat, tidak mungkinlah dia, tanda kutip lagi, berbicara tentang cinta.
Dia-lah orangnya yang menghembuskan istilah dalam filsafat eksistensial “Will
to power”-nya manusia; bahwa manusia itu pada prinsipnya adalah memiliki hasrat
'hanya' untuk berkuasa. Artinya, menurutnya bahwa tujuan manusia dalam
hidupnya tidak lebih dari apa yang disebut dengan kehendak untuk berkuasa.
Oleh karena itu, hasrat untuk berkuasa pasti berbanding terbalik dengan
apa yang disebut dengan cinta.
Barangkali dari antara pembaca tulisan ini,
nama Nietzche tidaklah menjadi nama yang asing. Bahkan mungkin nama ini
adalah suatu nama yang familiar, terlebih bagi orang yang pernah belajar
filsafat, atau setidaknya sebagai penyuka (pembaca buku-buku) fillsafat. Akan
tetapi, bagi yang baru pernah membaca nama ini saya akan memaparkan siapa dia
secara ringkas. Nama lengkapnya Friedrich Wilhelm Nietszche (1844-1900),
berkebangsaan Jerman. Bapaknya seorang Pendeta dan kakeknya dari garis
keturunan ibunya-pun adalah pendeta. Ia adalah seorang filsuf yang banyak
menghasilkan buku filsafat. Dia-lah salah satu filsuf yang dikategorikan sebagai
filsuf eksistensial, sebagaimana telah saya cantumkan pada alinea di
atas.
Lalu, pertanyaan selanjutnya adalah apa yang
dikatakan Nietzsche tentang cinta, dan cinta apa yang dia maksudkan? “Amor
fati”, tulis Nietzsche dalam sebuah bukunya yang berjudul EUVRES
(OPERE 2870/1881). Apa artinya Amor fati ? Amor atinya cinta dan fati
artinya sesuatu yang sudah tentu dan tidak bisa diubah (atau dengan
istilah yang lain : titik pijak pejal yang fixed). Maka, apabila kita
mengartikan ungkapan tersebut, arti ungkapan ini adalah 'cintalah kepada apa
yang tidak bisa diubah’.
“Terhadap apa yang tidak bisa diubah, yang
tercampuradukkan dengan apa yang berguna pada dirinya sendiri, yang dilihat
dari atas dan secara menyeluruh,itu bukan hanya harus ditanggung, kita bahkan harus
mencintainya...”(A. Setyo Wibowo, hl.165).
Yang tidak bisa diubah dan harus mencintainya
adalah hidup di dunia sebagai manusia, dimana ke-manusia-an itu yang terbangun
atas elemen-elemen terbesar sampai elemen-elemen terkecil. Dalam penjelasannya,
yang dimaksud dengan yang tidak bisa diubah adalah realitas apa adanya tentang
segala sesuatu yang bersentuhan dengan kehidupan manusia, entah itu sesuatu
yang luar biasa maupun yang bersifat remeh-temeh; entah itu sesuatu hal yang
besar maupun yang sangat kecil yang seolah-olah tidak memiliki
pengaruh sama sekali. Adapun elemen-elemen besar yang tidak bisa diubah
adalah lahir menjadi manusia, mengalami sakit dan kematian. Sedangkan
elemen-elemen kecil adalah makanan, ciri-ciri, kebiasaan, ritme gerak, dan
lain-lain.
“Cintailah segala sesuatu yang ada di dalam
realitas hidupmu”, kira-kira inilah simpulan dari pembicaraan Nietsche tentang
cinta. Artinya, supaya kita mencintai eksistensi kita masing-masing. Tentu,
yang dimaksud adalah eksistensi personal, segala kelemahan dan kelebihan
personal. Mencintai segala kelebihan, mungkin tidak akan menjadi permasalahan.
Akan tetapi, bagaimanakah jika hal itu adalah kelemahan, seberapa banyakkah
orang yang sanggup menerima kelemahannya? Bukankah, banyak orang mencoba dan
berusaha untuk menolaknya, dengan berbagai cara? Dalam hal inilah cinta/Amor
yang dimaksudkan oleh Nietzsche. Sebab, kata Nietzsche pada bukunya yang lain:
“Siapa saja yang tidak puas dengan dirinya
sendiri (mencintai realitas apa adanya), selalu siap melakukan balas dendam :
dan kita yang berbeda dengan mereka akan menjadi korban mereka sejauh kita
menanggung aspek diri mereka yang mereka tidak sukai. Pandangan orang yang
tidak dapat menerima realitas apa adanya, selalu menempatkan apa saja adalah
jelek dan suram.”
Benarkah ungkapan ini, kawan; atau hanya sesuatu
yang bersifat naif?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar