ANIMO MAGIS QUAM
CORPORE AEGRI SUNT
Oleh: Pdt. Saut
Silitonga, M.Pil
(Pendeta HKBP
Resort Parsaoran Nauli-Banualuhu
Distrik XVI Humbang Habinsaran)
Kalimat
di atas adalah sebuah falsafah Latin kuno. Kalimat ini berasal dari filsuf dan
penyair istana kekaisaran Romawi pada jaman kaisar Nero yang bernama Marcus
Annaeus Lucanus yang hidup pada tahun 39-65 Masehi. Kelihatan umurnya sangat
singkat hanya lebih kurang 26 tahun. Kenapa ia berumur singkat adalah karena ia
menerima hukuman mati dari kaisar, dua tahun sebelum kaisar Nero berakhir. Ia
dijatuhi hukuman mati, dikisahkan bahwa kalangan istana tidak menyukainya oleh
karena pikiran-pikiran filosofisnya yang tertuang pada syair-syair yang ia
tulis. Ia difitnah oleh kalangan istana, ia dituduh sebagai salah seorang yang
bersekongkol untuk menjatuhkan kaisar Nero.
Adapun arti kalimat di atas, kita
terjemahkan secara sederhana adalah seperti
ini: Penguasa
lebih cenderung mengalami sakit jiwa
daripada sakit jasmani.
Tentu, kita boleh bebas unutk memahami ungkapan ini. Apakah kita setuju
atau menolaknya itu tergantung dari kacamata atau cara pandang kita untuk menalarnya;
hanya saja kelihatannya Lucanus memandang bahwa kekuasaan itu cenderung
bermuatan negatif. Ini disebabkan karena, sejujurnya bahwa kekuasaan sangat
mengiurkan dan sungguh mempesona kendati pun ia hanya berupa konsep bukan
berupa fisik. Oleh karena pesonanya yang luar biasa, maka kenyataannya ia
selalu diperebutkan. Selanjutnya untuk meraihnya dan ada dalam genggamannya,
orang melakukannya dengan segala macam cara; dengan cara jujur atau dengan cara
curang, dengan cara yang benar atau dengan cara yang salah, dengan cara yang
baik atau dengan cara keji sekalipun. Tentu, ketika seseorang yang hendak
berkuasa lalu ia melakukannya dengan menghalalkan segala cara, mungkin di
situlah yang dimaksudkan oleh Lucanus, sudah mengarah ke arah sakit jiwa. Selanjutnya,
orang yang sedang berkuasa, kecenderungannya adalah selalu berusaha untuk
memperlihatkan atau mempertontonkan kekuasaannya, mempertahankannya, bahkan
jika boleh berusaha untuk memperluasnya. Akan tetapi kita perlu mencatat atau
mengaris bawahi bahwa penguasa, sebagaimana pembahasan kita saat ini, tidaklah
serta merta sama dengan apa yang disebut dengan pemimpin. Jadi, dalam hal ini
kita harus membedakannya. Sebab, dalam pemahaman saya, bahwa penguasa adalah
ada dalam konteks power, sedangkan pemimpin ada dalam konteks manage. Mudah-mudahan
pemahaman saya ini tidak keliru.
Sejalan dengan ungkapan Lucanus di atas,
seorang keturunan bangsawan Jerman-Inggris yang bernama John Emerich Edward
Dalberg Achton (1834-1902) yang sering disebut Lord Achton, menuliskan seperti
ini: “…
power tends to corrupt and absolute power corrupts absoluty…,” lalu
sejak kalimat ini diungkapkan sampai saat sekarang, sangat sering menjadi
referensi dan dikutip orang apabila memberikan komentar terhadap segala sesuatu
yang ada kaitannya dengan kekuasaan, terlebih-lebih pada saat ini yaitu
mengenai korupsi. Arti kalimat tersebut secara sederhana adalah kekuasaan
cenderung berbuat jahat, dan jika kekuasaan itu menjadi tidak terbatas maka
kecenderungan berbuat jahat pun akan tidak terbatas pula. Tentu, korelasi yang
dapat kita lihat dari pemikiran Lucanus dan Sir Achton adalah bahwasanya
kekuasaan yang tanpa batas dan semena-mena, itulah yang cenderung menimbulkan
sakit jiwa.
Kembali kepada masa hidup Lucanus, di mana
ia berkarya pada jaman kaisar Nero. Sudah dapat kita banyangkan betapa tersinggungnya
kaisar Nero membaca dan mendengarkan puisi filosofis tersebut. Mungkin saja ungkapan
ini tidak ditujukan kepadanya, akan tetapi oleh karena yang berkuasa saat itu
adalah dia sendiri maka ungkapan itu seolah-olah hendak menyindirnya. Maka,
ketika kalangan istana memfitnahnya sebagai salah seorang yang hendak
mengkudeta sang kaisar, maka kaisar pun dengan mudah mempercayainya.
Terlepas dari itu, kita mengetahui dalam
sejarah gereja bahwa Nero adalah salah satu kaisar Romawi yang menjadi tokoh
kelam bagi kekristenan. Ia adalah seorang momok yang menakutkan, bukan yang
dicintai. Bukankah diceritakan bahwa ia begitu banyak mengorbankan orang-orang
beriman itu? Diceritakan lagi, bahwa suatu ketika ia pun membakar sebagian kota
Roma, lalu kemudian ia menjatuhkan tuduhan berupa fitnahan, bahwa yang
melakukannya adalah orang-orang Kristen. Dan hasilnya pada saat itu adalah
setiap orang membenci orang Kristen.
Tentu, tidak semua penguasa cenderung
mengalami sakit jiwa. Hanya penguasa yang sewenang-wenanglah kemungkinan
mengalami hal seperti itu. Dan juga dapat dipastikan bahwa ada banyak penguasa
yang dicintai oleh karena kekuasaan yang ia genggam benar-benar dengan
setulusnya dipergunakan untuk kebaikan kota, kebaikan lembaga dan untuk
kebaikan bangsa dan negara sebagimana yang dicita-citakan oleh Plato, sang
filsuf pencetus Politeia itu. Tentu penguasa yang seperti inilah yang kita
dambakan dan kita cita-citakan. Animo magis quam corpora aegri sunt.
Kesakit jiwaan manusia yang berkuasa yang serta merta akan muncul adalah
apabila ia merasa ada di atas segala-galanya, merasa super, menempatkan diri
menjadi setengah dewa, haus akan puja dan puji serta keinginan untuk dikultuskan.
Tentu, hal-hal ini sangat perlu untuk direnungkan. Akan tetapi, memegang
kekuasaan tidaklah sebuah dosa, hanya jangan sampai mengarah ke arah seperti
yang dikuatirkan filsuf yang satu ini, Marcus Annaeus Lucanus. Semoga!
Dikutip dari Surat Parsaoran HKBP Immanuel
No.04/April 2016/Tahun ke 126 Halaman
73-74
Tidak ada komentar:
Posting Komentar