Rabu, 07 Maret 2018

NIETZSCHE JUGA BERBICARA TENTANG CINTA

NIETZSCHE JUGA BERBICARA TENTANG CINTA



Pdt. Saut Silitonga Mphill
Melayani di HKBP Banuahulu Distrik XVI Humbang Habinsaran

Benarkah? Mungkin inilah pertanyaan awal yang timbul dalam benak kita ketika saya membuat judul ini. Bukankah Nietzsche adalah seorang filsuf yang dianggap nyeleneh tanda kutip; seorang pemikir yang dianggap orang kontradiktif ? Lalu, dengan ke-kontradiksi-an pemikirannya dalam berfilsafat, tidak mungkinlah dia, tanda kutip lagi, berbicara tentang cinta. Dia-lah orangnya yang menghembuskan istilah dalam filsafat eksistensial “Will to power”-nya manusia; bahwa manusia itu pada prinsipnya adalah memiliki hasrat 'hanya' untuk berkuasa. Artinya, menurutnya bahwa tujuan manusia dalam hidupnya tidak lebih dari apa yang disebut dengan kehendak untuk berkuasa. Oleh karena itu, hasrat untuk berkuasa pasti berbanding terbalik dengan apa yang disebut dengan cinta. 
Barangkali dari antara pembaca tulisan ini, nama Nietzche tidaklah menjadi nama yang asing. Bahkan mungkin nama ini adalah suatu nama yang familiar, terlebih bagi orang yang pernah belajar filsafat, atau setidaknya sebagai penyuka (pembaca buku-buku) fillsafat. Akan tetapi, bagi yang baru pernah membaca nama ini saya akan memaparkan siapa dia secara ringkas. Nama lengkapnya Friedrich Wilhelm Nietszche (1844-1900), berkebangsaan Jerman. Bapaknya seorang Pendeta dan kakeknya dari garis keturunan ibunya-pun adalah pendeta. Ia adalah seorang filsuf yang banyak menghasilkan buku filsafat. Dia-lah salah satu filsuf yang dikategorikan sebagai filsuf eksistensial, sebagaimana telah saya cantumkan pada alinea di atas. 
Lalu, pertanyaan selanjutnya adalah apa yang dikatakan Nietzsche tentang cinta, dan cinta apa yang dia maksudkan? “Amor fati”, tulis Nietzsche dalam sebuah bukunya yang berjudul EUVRES (OPERE 2870/1881). Apa artinya Amor fati ? Amor atinya cinta dan fati artinya sesuatu yang sudah tentu dan tidak bisa diubah (atau dengan istilah yang lain : titik pijak pejal yang fixed). Maka, apabila kita mengartikan ungkapan tersebut, arti ungkapan ini adalah 'cintalah kepada apa yang tidak bisa diubah’.
“Terhadap apa yang tidak bisa diubah, yang tercampuradukkan dengan apa yang berguna pada dirinya sendiri, yang dilihat dari atas dan secara menyeluruh,itu bukan hanya harus ditanggung, kita bahkan harus mencintainya...”(A. Setyo Wibowo, hl.165).
Yang tidak bisa diubah dan harus mencintainya adalah hidup di dunia sebagai manusia, dimana ke-manusia-an itu yang terbangun atas elemen-elemen terbesar sampai elemen-elemen terkecil. Dalam penjelasannya, yang dimaksud dengan yang tidak bisa diubah adalah realitas apa adanya tentang segala sesuatu yang bersentuhan dengan kehidupan manusia, entah itu sesuatu yang luar biasa maupun yang bersifat remeh-temeh; entah itu sesuatu hal yang besar maupun yang sangat kecil yang seolah-olah tidak memiliki pengaruh sama sekali. Adapun elemen-elemen besar yang tidak bisa diubah adalah lahir menjadi manusia, mengalami sakit dan kematian. Sedangkan elemen-elemen kecil adalah makanan, ciri-ciri, kebiasaan, ritme gerak, dan lain-lain. 
“Cintailah segala sesuatu yang ada di dalam realitas hidupmu”, kira-kira inilah simpulan dari pembicaraan Nietsche tentang cinta. Artinya, supaya kita mencintai eksistensi kita masing-masing. Tentu, yang dimaksud adalah eksistensi personal, segala kelemahan dan kelebihan personal. Mencintai segala kelebihan, mungkin tidak akan menjadi permasalahan. Akan tetapi, bagaimanakah jika hal itu adalah kelemahan, seberapa banyakkah orang yang sanggup menerima kelemahannya? Bukankah, banyak orang mencoba dan berusaha untuk menolaknya, dengan berbagai cara? Dalam hal inilah cinta/Amor yang dimaksudkan oleh Nietzsche. Sebab, kata Nietzsche pada bukunya yang lain: 

“Siapa saja yang tidak puas dengan dirinya sendiri (mencintai realitas apa adanya), selalu siap melakukan balas dendam : dan kita yang berbeda dengan mereka akan menjadi korban mereka sejauh kita menanggung aspek diri mereka yang mereka tidak sukai. Pandangan orang yang tidak dapat menerima realitas apa adanya, selalu menempatkan apa saja adalah jelek dan suram.” 

Benarkah ungkapan ini, kawan; atau hanya sesuatu yang bersifat naif?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MARLAS ROHA RAP DOHOT DONGAN NA BURJU MARROHA

  ACARA PARTANGIANGAN MAMASUHI BAGAS   Keluarga Agus Mangara Tua Situmorang, S.E. / Meliyani Sari br. Silitonga, S.E. (Ama/ina A...