Rabu, 29 November 2017

ANIMO MAGIS QUAM CORPORE AEGRI SUNT



ANIMO MAGIS QUAM CORPORE AEGRI SUNT
Oleh: Pdt. Saut Silitonga, M.Pil
(Pendeta HKBP 
Resort Parsaoran Nauli-Banualuhu 
Distrik XVI Humbang Habinsaran)




Kalimat di atas adalah sebuah falsafah Latin kuno. Kalimat ini berasal dari filsuf dan penyair istana kekaisaran Romawi pada jaman kaisar Nero yang bernama Marcus Annaeus Lucanus yang hidup pada tahun 39-65 Masehi. Kelihatan umurnya sangat singkat hanya lebih kurang 26 tahun. Kenapa ia berumur singkat adalah karena ia menerima hukuman mati dari kaisar, dua tahun sebelum kaisar Nero berakhir. Ia dijatuhi hukuman mati, dikisahkan bahwa kalangan istana tidak menyukainya oleh karena pikiran-pikiran filosofisnya yang tertuang pada syair-syair yang ia tulis. Ia difitnah oleh kalangan istana, ia dituduh sebagai salah seorang yang bersekongkol untuk menjatuhkan kaisar Nero.
Adapun arti kalimat di atas, kita terjemahkan secara sederhana adalah seperti ini: Penguasa lebih cenderung mengalami sakit jiwa  daripada sakit jasmani.  Tentu, kita boleh bebas unutk memahami ungkapan ini. Apakah kita setuju atau menolaknya itu tergantung dari kacamata atau cara pandang kita untuk menalarnya; hanya saja kelihatannya Lucanus memandang bahwa kekuasaan itu cenderung bermuatan negatif. Ini disebabkan karena, sejujurnya bahwa kekuasaan sangat mengiurkan dan sungguh mempesona kendati pun ia hanya berupa konsep bukan berupa fisik. Oleh karena pesonanya yang luar biasa, maka kenyataannya ia selalu diperebutkan. Selanjutnya untuk meraihnya dan ada dalam genggamannya, orang melakukannya dengan segala macam cara; dengan cara jujur atau dengan cara curang, dengan cara yang benar atau dengan cara yang salah, dengan cara yang baik atau dengan cara keji sekalipun. Tentu, ketika seseorang yang hendak berkuasa lalu ia melakukannya dengan menghalalkan segala cara, mungkin di situlah yang dimaksudkan oleh Lucanus, sudah mengarah ke arah sakit jiwa. Selanjutnya, orang yang sedang berkuasa, kecenderungannya adalah selalu berusaha untuk memperlihatkan atau mempertontonkan kekuasaannya, mempertahankannya, bahkan jika boleh berusaha untuk memperluasnya. Akan tetapi kita perlu mencatat atau mengaris bawahi bahwa penguasa, sebagaimana pembahasan kita saat ini, tidaklah serta merta sama dengan apa yang disebut dengan pemimpin. Jadi, dalam hal ini kita harus membedakannya. Sebab, dalam pemahaman saya, bahwa penguasa adalah ada dalam konteks power, sedangkan pemimpin ada dalam konteks manage. Mudah-mudahan pemahaman saya ini tidak keliru.
Sejalan dengan ungkapan Lucanus di atas, seorang keturunan bangsawan Jerman-Inggris yang bernama John Emerich Edward Dalberg Achton (1834-1902) yang sering disebut Lord Achton, menuliskan seperti ini: “… power tends to corrupt and absolute power corrupts absoluty…,” lalu sejak kalimat ini diungkapkan sampai saat sekarang, sangat sering menjadi referensi dan dikutip orang apabila memberikan komentar terhadap segala sesuatu yang ada kaitannya dengan kekuasaan, terlebih-lebih pada saat ini yaitu mengenai korupsi. Arti kalimat tersebut secara sederhana adalah kekuasaan cenderung berbuat jahat, dan jika kekuasaan itu menjadi tidak terbatas maka kecenderungan berbuat jahat pun akan tidak terbatas pula. Tentu, korelasi yang dapat kita lihat dari pemikiran Lucanus dan Sir Achton adalah bahwasanya kekuasaan yang tanpa batas dan semena-mena, itulah yang cenderung menimbulkan sakit jiwa.
Kembali kepada masa hidup Lucanus, di mana ia berkarya pada jaman kaisar Nero. Sudah dapat kita banyangkan betapa tersinggungnya kaisar Nero membaca dan mendengarkan puisi filosofis tersebut. Mungkin saja ungkapan ini tidak ditujukan kepadanya, akan tetapi oleh karena yang berkuasa saat itu adalah dia sendiri maka ungkapan itu seolah-olah hendak menyindirnya. Maka, ketika kalangan istana memfitnahnya sebagai salah seorang yang hendak mengkudeta sang kaisar, maka kaisar pun dengan mudah mempercayainya.
Terlepas dari itu, kita mengetahui dalam sejarah gereja bahwa Nero adalah salah satu kaisar Romawi yang menjadi tokoh kelam bagi kekristenan. Ia adalah seorang momok yang menakutkan, bukan yang dicintai. Bukankah diceritakan bahwa ia begitu banyak mengorbankan orang-orang beriman itu? Diceritakan lagi, bahwa suatu ketika ia pun membakar sebagian kota Roma, lalu kemudian ia menjatuhkan tuduhan berupa fitnahan, bahwa yang melakukannya adalah orang-orang Kristen. Dan hasilnya pada saat itu adalah setiap orang membenci orang Kristen.
Tentu, tidak semua penguasa cenderung mengalami sakit jiwa. Hanya penguasa yang sewenang-wenanglah kemungkinan mengalami hal seperti itu. Dan juga dapat dipastikan bahwa ada banyak penguasa yang dicintai oleh karena kekuasaan yang ia genggam benar-benar dengan setulusnya dipergunakan untuk kebaikan kota, kebaikan lembaga dan untuk kebaikan bangsa dan negara sebagimana yang dicita-citakan oleh Plato, sang filsuf pencetus Politeia itu. Tentu penguasa yang seperti inilah yang kita dambakan dan kita cita-citakan. Animo magis quam corpora aegri sunt. Kesakit jiwaan manusia yang berkuasa yang serta merta akan muncul adalah apabila ia merasa ada di atas segala-galanya, merasa super, menempatkan diri menjadi setengah dewa, haus akan puja dan puji serta keinginan untuk dikultuskan. Tentu, hal-hal ini sangat perlu untuk direnungkan. Akan tetapi, memegang kekuasaan tidaklah sebuah dosa, hanya jangan sampai mengarah ke arah seperti yang dikuatirkan filsuf yang satu ini, Marcus Annaeus Lucanus. Semoga!
Dikutip dari Surat Parsaoran HKBP Immanuel
No.04/April 2016/Tahun ke 126 Halaman 73-74

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MARLAS ROHA RAP DOHOT DONGAN NA BURJU MARROHA

  ACARA PARTANGIANGAN MAMASUHI BAGAS   Keluarga Agus Mangara Tua Situmorang, S.E. / Meliyani Sari br. Silitonga, S.E. (Ama/ina A...